SELAMAT DATANG DI BLOG SPECIAL, ANDA PENGUNJUNG KE:

30 April 2009

CATATAN KECIL PERJALANANKU 2



Tepat pukul 24.30 Kereta Senja Utama Yogya Jakarta memasuki Stasiun Kejaksan Cirebon. Kedatangan ini sesuai jadwal, pada hari-hari yang lain kerta kadang datang tepat waktu kadang juga terlambat. Ya, ini karena belum adanya double track selepas Kutoarjo sampai Cirebon. Semoga kondisi ini segera dibenahi mengingat sudah sekian lama kita merdeka, masak masih mengandalkan warisan Belanda melulu. Begitu turun dari kereta, tercium aroma tanah basah. Rupanya malam itu usai hujan yang cukup deras sehingga mendinginkan udara yang normalnya cukup panas, layaknya kota/daerah lain yang di tepian pantai.


Begitu keluar pintu, sedertan tukang becak sudah menunggu untuk menawarkan jasanya. Semula mereka saling berebut untuk menghantarkan aku, tapi lama-lama aku perhatikan mereka bergilir, tanpa ada perebutan dan menang-menangan. Subhanalloh, toleransi dalam pembagian rezeki sudah tercipta diantara mereka. Kita kadang malu, sebagai orang yang berpendidikan kalau menyangkut urusan rezeki saling berebut bahkan bisa menghalallkan segala cara. Na’udzubillahimin dhalik. Sebenarnya ada beberapa alternatif kendaraan yang bisa digunakan, Taxi ataupun ojek ada di stasiun. Tapi aku lebih suka menggunakan jasa tukang beca dengan alasan; rumahku tidak terlalu jauh dari stasiun dan aku bertujuan untuk dapat memberikan rezeki kepadanya yang pada umumnya hidupnya hanya mengandalkan diri dari mengayuh becak. Normalnya, dari stasiun ke tempatku ongkosnya antara Rp. 7.000,- sd Rp. 8.000,- Namun kalau yang gak tahu akan ditawari dengan harga sekitar Rp. 20.000,- sd Rp.25.000,- Pada awalnya aku sengaja nawar sampai Rp. 10.000,- meski sesampainya di rumah tak beri Rp. 15.000,- ya..meskipun sedikit idep2 amal gitcu. Kini mereka sudah tahu, pokoknya kalau aku datang ya gak lagi tanya harga langsung dapat Rp. 15.000,- Duh semringahnya tukang becak dengan diberi sedikit lebih, Insya Alloh syukurnya akan tembus sampai ke langit tertinggi. Bagi kita uang segitu mungkin kurang berarti, tapi masya Alloh, ternyata dibumi pertiwi yang kaya raya ini masih memandang begitu berharga duit seceng.


Semilir angin malam menerpa wajahku, dengan beca yang terbuka aku gampang berkomunikasi dengan tukang becak. Sementara malam semakin larut, disepanjang Jalan Kartini masih banyak anak-anak muda yang nongkrong, tak ketinggalan dengan sejumlah wanita muda. Inilah potret negeri yang mayoritas penduduknya muslim namun telah terjadi dekadensi moral yang luar biasa sehingga telah mencapai titik nadir. Aku pernah bertanya ke tukang beca diwaktu lain, dia seorang sarjana, pantes kok diajak ngobrol nyambung banget. Ya Alloh, alangkah beruntungnya aku, selama ini telah Engkau berikan rezeki yang berkecukupan. Saudaraku, yang seorang sarjana berakhir pada profesi tukang becak !!! Aku yakin, hatinya pasti menjerit, rasanya tidak mungkin sampai dia lulus sarjana pernah bercita-cita untuk menjadi tukang beca. Pasti semua karena keterpaksaan, dirumah anak sudah menangis minta susu, dari pada menganggur, apapun dijalani yang penting halal. Insya Alloh keringatnya akan dibalas dengan segala kebaikan kelak di Akherat oleh Alloh. Amin.


Malam itu aku naik beca dengan pengemudi yang bertubuh gendut, lebih besar dariku. Sungguh sangat jarang tukang beca yang demikian. Umumnya tukang beca langsing, bukan karena kurang makan tapi karena energynya banyak keluar sebagai ganti bensin saat mengayuh. Pembicaraan sampai ke masalah keluarga, setelah aku tanya berapa orang anaknya, dia jawab semula 10 orang tapi tinggal 9 yang hidup. Aku agak tersentak, kutanyakan istrinya kerja ? Ternyata tidak. Trus kutanyakan lagi berapa orang yang sudah bekerja ? Baru satu orang, jadi dukun dan salah satu pasiennya tetanggaku. Pembicaraan terus berlanjut, kutanyakan berapa penghasilan seharinya ? Rata-rata dapat Rp. 25.000,- Busyet, aku coba menghitung 8 anak plus istri dan dia, dengan penghasilan Rp. 25.000,- berarti jatah seorang tiap hari Rp. 2.500,- Mau pecah rasanya kepalaku, gimana caranya dia bisa menghidupi dirinya dan keluarganya ? Pantaslah orang-orang demikian sampai-sampai ada yang meregang nyawa untuk mendapatkan dana zakat Rp. 15.000,- ataupun mendapatkan BLT. Mereka juga sangat rawan untuk dibeli suaranya saat Pemilu dengan serangan fajar. Bayangin kalau suaranya dibeli Rp. 20.000,- artinya untuk masa 5 tahun suaranya hanya dihargai Rp. 11,11 per hari. Alangkah jahatnya mereka yang berpolitik kotor.

Tidak ada komentar: